Relevansi Ta'lim
al-Muta'alim dengan
proses pembelajaran
pada zaman sekarang
Tamhid
"Ta'limul Muta'alim" adalah
kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh hari saja di bulan
Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari– hasil rangkuman
Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu melontar kritik
tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi, berisi teror sadis
kepada pencari ilmu, tidak masuk akal pembangkit kultus dan sebagainya, bukan
lainnya "Ta'limul Muta'alim" itu tapi kitab itu masih saja terus
dibaca di pesantren salaf manapun.
Sebelum saja beranjak menguak sedikit
isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu sebuah
rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai. Yang rahasia itu
hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah
ilmu nafi’' dan muntafa' bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat
dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya
(alladzi 'allama bil qolam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam). Untuk memperoleh
fadhol ini, orang harus berdo'a atau dido'akan. Do'a itu harus sungguh-sungguh
dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan
mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do'a, dengan cara misalnya,
disamping berdo'a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha
menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah. Kedua,
Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan
muthola'ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan "Man
tholaba syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja". Siapa
saja yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan
barang siapa mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam
(rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang
muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan: "Walladzina jaahaduu
fiinaa lanahdiyannahum subulanaa", mengisyaratkan hal yang demikian itu.
Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah
pameo "atthob'u saroq" tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka
kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan yang niscaya
mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat. Murid akan
tertulari dari sang guru.
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi'
dan muntafa' bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa
besar kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu
faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang
berhasil mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua
tholib. Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi,
kepada siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan
menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut.
Namun secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan
itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk
tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya
fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik
mendapatkan legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari
kesungguhan tholibil 'ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah
jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya
wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal
ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya mendekati kitab
"Ta'limul Muta'alim".
Sistimatika Ta'limul Muta'alim
Kitab kecil yang terdiri dari tiga belas
fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana seharusnya orang
sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab kecil yang
berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja yang
berkaitan dengan isi kitab.
Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya,
bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena
mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh
ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar mendapatkan pahala
disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat pencarian,
menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan
ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT didekati
sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan niat
tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi.
Pada fasal ketiga dikemukakan perlunya
selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum terjun
kedalam kancah ta'allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus minat
ta'allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang dipelajari dan
dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang mengajar,dan teman yang
bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal berikutnya yang membuat pakar ilmu
masa kini seolah-olah kebakaran jenggot, adalah tentang kewajiban ta'dhim
terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana
seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin.
Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai (starting) terjun, memperkirakan
kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal ilmu yang
diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul
ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak
melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun
benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap
atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah
membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan
yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan
sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari keibadahan
tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan
bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang
"allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh
orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja,
namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat,
tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah
dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali
tidak bisa dipisahkan. Hal-hal (baca: a'mal) yang melibatkan Allah SWT. Demi
perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada
permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan
aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah
adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat
diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang
mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan,
"Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah untuk takwa
dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh tentu mulia 'nda
siwahu min kholqihi.
Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa
itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang
bermanfaat).
Berangkat dari sini, kiranya tidak
berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu
sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib.
Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang
diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia
dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi
ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin adalah
sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa bentuk
sesuai dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu sendiri, latar
belakang keduanya dan seterusnya.
At-Ta'dhim
Tampilan ta'dhim yang beraneka bentuk
itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas ,layak,wajar. Karena memang
ta'dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap
yang ia merasa harus menta'dhimkannya. Dan merupakan garapan tholibul ilmi
untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta'dhim, dilakukannya
dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk
yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis
dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus pandai dan cermat
menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari. Sesuai dengan
minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupn dia tidak dibenarkan sembarangan
dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri akan lebih mendorongnya kepada
kesungguhan ta'dhim. Oleh TMT kesungguhan ta'dhimil ilmi dirupakan dengan tidak
menjamah kitab yang berisi kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari
hadats. Sebelum dia muthola'ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu
lebih dahulu. Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak
menaruh kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu
yang sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial adalah yang dia
hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk menuntun
kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus menghadap
kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal tholib memilih guru, kalau
ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan sebagai
handal (al a'lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan keseharian sedemikian
rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat
serta menjaga muru'ah (al-auro’) dan yang memiliki nilai lebih dalam kematangan
ilmu dan amalnya serta lebih tua usianya daripada ulama (kiyai) lain
(al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib
kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib bersikap
ta'dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT, dicontohkan dengan tidak ngomong
kalau tidak didangu tidak bergeser tempat duduk sebelum sang guru beranjak dari
tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dari guru, ketika
didangu tidak berulah yang menyebabkan guru terganggu. Mematuhi segala
perintahnya apapun bentuknya. Dan seterusnya. Ta'dhim ini berlanjut kepada
keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru tertekan (diantara tanda
kutip) secara moral ta'dhim kepada guru ini, dilakukan oleh tholib untuk
mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus memberi dengan sifat kasih dan
sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah untuk mendapatkan dan
menghantarkannya kepada "raf'ad darojat"?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter
(thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang
sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya
dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa
washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa saqotho man saqotho
illa bitarkilhurmati wat ta'dhim”.
Melakukan pilihan sendiri secara cermat
terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu dan
gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab meninggalkan
ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan itu sangat
menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai bermanfaat.
Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib. Rekan itu
harus serasi, yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah, berakhlak
terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab
"at thob'u saroqo", tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat
mempengaruhi perilaku dan penilaian.
Layaqoh Ma'hudah
Untuk menyikapi ilmu, guru dan rekan
yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta'dhim ala TMT berlebihan
atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau tidak kaitannya
dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana sebenarnya seseorang
(sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam kedudukan dan peranan apa, menurut
anggapan tholib, guru berpengaruh pada "pembentukan diri". Seberapa
besar guru memberi manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan
tholib mengapa dia melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali bisa saya katakan bahwa substansi
pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah dari "madhi" robba yang
maknanya " memberangkatkan pagi-pagi" atau "memperkembangkan
sejak mula", sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi
anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut fitrahnya adalalah
bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi, dilukis, dicoret-coret
atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah dengan demikian bisa
diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama hiya makhluqotun bihi bighoiri
taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan berangkat dan beranjak tumbuh sesuai
dengan fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang semestinya dengan
menuntun dan memberi contoh yang diinginkan serta memberi warna yang
seindah-indahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik.
Sehingga tertanam pada dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af 'aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian
adalah jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak
nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan
kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa
efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin
antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin
keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu
'alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap
sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak
berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada
dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah
disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia,
belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil,
kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan
lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.
At- Talkhis Al Mudawwan
1. Mencari
Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai
ridha Allah.
2. 2.
Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada
pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
3. Ilmu yang
kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan
mengangkat derajat mulia disisi Allah.
4. Ilmu
adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain
lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut
konsep Al-Qur'an harus dengan atas nama Allah.
5. Ilmu yang
membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang
sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita'dhimkan. Adalah
terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
6. Menta'dhimkan
guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada
tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta'dhimkan ilmu itu
sendiri.
7. Menta'dhimkan
harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah
manapun, langsung atau tidak langsung.
8. Ta'dhim
bukanlah ta'abbud. Namun bisa saja laku ta'dhim karena menjalankan perintah
syari'. Menjalankan perintahnya berarti juga ta'abbud.
9. Mencari
ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.
At-Talkhis Al-Mu'abbar
Barangkali oleh karena Az-Zarnuji
melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara emphiris
dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan. Andaikata saya tidak
khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan bahwa TMT adalah
kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum
disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif memiliki bobot
yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang ideal yang
masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu, saya memberanikan
diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat relevan untuk diterapkan pada
dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum berubah.
Tentang hubungan pendidik anak didik,
guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan seterusnya,
adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan keorangan apabila
terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar filosofi sadar posisi bagi
masing-masing. Dan itu harus dipertahankan kelanggegnannya agar pengawasan
batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub
tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Takhtim
Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk
mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh tadhomun
maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari lafal:
at-tarbiyah.
Pada kurun masa segala aspek tata
kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya era
indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT, sebaiknya
didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan
melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab
dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi
bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada pedoman khususnya selain kitab TA'LIMUL
MUTA'ALIM.
http://www.catatankangsantri.blogspot.com
Relevansi Ta'lim
al-Muta'alim dengan
proses pembelajaran
pada zaman sekarang
Tamhid
"Ta'limul Muta'alim" adalah
kitab kecil –biasanya saya khatamkan dalam enam atau tujuh hari saja di bulan
Romadlon, dengan tempo baca sekitar satu jam setiap hari– hasil rangkuman
Syaikh Az-Zarnuji, yang belum mengenal tradisi pesantren, tentu melontar kritik
tajam terhadapnya. Dianggapnya kitab yang penuh kontroversi, berisi teror sadis
kepada pencari ilmu, tidak masuk akal pembangkit kultus dan sebagainya, bukan
lainnya "Ta'limul Muta'alim" itu tapi kitab itu masih saja terus
dibaca di pesantren salaf manapun.
Sebelum saja beranjak menguak sedikit
isi, seluk beluk dan relevansi kitab TMT, saya ingin menguak dahulu sebuah
rahasia yang biasanya hanya disimpan saja di hati para kiyai. Yang rahasia itu
hakikatnya adalah inti sari dari kitab TMT tersebut. Begini:
Keberhasilan seseorang mendapat anugerah
ilmu nafi’' dan muntafa' bih adalah karena melibatkan tiga faktor yang sangat
dominan, yaitu: Pertama, Fadhol dari Allah, karena memang diajar oleh-Nya
(alladzi 'allama bil qolam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam). Untuk memperoleh
fadhol ini, orang harus berdo'a atau dido'akan. Do'a itu harus sungguh-sungguh
dan disertai kesungguhan. Tidak boleh dipanjatkan dengan seenaknya dan
mengesankan tidak begitu membutuhkan wushulnya do'a, dengan cara misalnya,
disamping berdo'a orang juga berbuat maksiat, sama sekali tidak berusaha
menghindar dari keharaman yang dilarang. Fa anna yustajaabuu lah. Kedua,
Belajar sungguh-sungguh, rajin mengaji dan mengkaji, tekun mengulang dan
muthola'ah. Sebuah maqolah yang sering disebut hadits menegaskan "Man
tholaba syaian wajadda wajada wa man qoroal baba wa lajja walaja". Siapa
saja yang mencari sesuatu dan sungguh-sungguh, dia akan mendapatkannya. Dan
barang siapa mengetuk pintu dan dia mengamping, maka dia masuk ke dalam
(rumah). Secara implisit firman Allah yang biasanya untuk mendalili orang
muslim yang tidak perlu ragu terjun dalam perjuangan: "Walladzina jaahaduu
fiinaa lanahdiyannahum subulanaa", mengisyaratkan hal yang demikian itu.
Ketiga, Menyadong pertularan (atau apa namanya) dari guru kalau mengacu sebuah
pameo "atthob'u saroq" tabiat, watak, karakter itu mencuri, maka
kedekatan seseorang dengan orang lain mengakibatkan penularan yang niscaya
mengacu sunnah Allah, dia yang lemah akan tertulari yang lebih kuat. Murid akan
tertulari dari sang guru.
Pada kenyataannya, seberapa besar nafi'
dan muntafa' bihnya ilmu yang diperoleh oleh tholib tergantung pada seberapa
besar kadar ketiga faktor itu diupayakan, diayahi dan menghasilkan. Ada satu
faktor lagi yang oleh TMT diisyaratkan pula sebagai salah satu sebab seseorang
berhasil mendapatkan ilmu dan yang belakangan ini dilakukan oleh orang tua
tholib. Bagi orang tua tholib yang menyikapi secara santun kepada ahli ilmi,
kepada siapa tholib "ngangsu ilmu", anaknya atau cucunya niscaya akan
menjadi orang alim. Memang tidak ada dalil yang mengukuhkan analisis tersebut.
Namun secara empiris bapak saya (almaghfurlah KH. Bisri Musthofa) merasakan
itu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu Allah yang memperolehnya dianjurkan (untuk
tidak mengatakan diharuskan) melalui sanad (sandaran) yang jelas. Baik sya
fawiyyan maupun ijaziyyan. Supaya manfa'at ilmu itu secara ritualistik
mendapatkan legalisasinya. Karena manfa'at adalah asas yang mendasari
kesungguhan tholibil 'ilmi.
Tholabu ilmillah, mencari ilmu Allah
jelas wajib hukumnya. Mencari ilmu al-hal wajib (fardhu) 'ain dan selebihnya
wajib (fardhu) kifayah. Dengan demikian mencari ilmu, tholabul ilmi adalah amal
ibadah. Dari pendirian keibadahan tholabil ilmi inilah saya mendekati kitab
"Ta'limul Muta'alim".
Sistimatika Ta'limul Muta'alim
Kitab kecil yang terdiri dari tiga belas
fasal itu, separonya bersifat umum, membicarakan bagaimana seharusnya orang
sebagai makhluk hidup mengarungi kehidupan.
Seperti lazimnya kitab kecil yang
berbobot keilmuan, fasal awal mencoba memberi batasan terhadap apa saja yang
berkaitan dengan isi kitab.
Tentang ilmu, keutaman-keutamaannya,
bagian-bagiannya dan cara yang seharusnya untu menghasilkan ilmu itu. Karena
mencari ilmu itu ibadah, niat tholabul ilmi yang faridhotun itu tidak boleh
ditinggalkan. Tentu saja yang dilakukan tholib agar mendapatkan pahala
disamping dimaksudkan pula untuk memicu dan memacu semangat pencarian,
menangkal pembiasaan, menjaga koinsistensi, menuntun keberhasilan dan tujuan
ritualistik yang lain. Dari sinilah seharusnya kandungan kitab TMT didekati
sehingga tuduhan kurang menyenangkan atas TMT dihindari. Melakukan niat
tholabil ilmi ini diurai pada fasal dua, anniyah fi haalit ta'allumi.
Pada fasal ketiga dikemukakan perlunya
selektif dalam memilih ilmu, guru dan teman bermusyawarah sebelum terjun
kedalam kancah ta'allum. Pada fasal ini muncul keharusan menjaga terus minat
ta'allum, konsistensi dan tabah dalam tekun terhadap ilmu yang dipelajari dan
dialami. Karena memang ilmu yang dipelajari, guru yang mengajar,dan teman yang
bersamanya mandalami ilmu itu, dipilihnya sendiri secara selektif itu tadi.
Fasal berikutnya yang membuat pakar ilmu
masa kini seolah-olah kebakaran jenggot, adalah tentang kewajiban ta'dhim
terhadap ilmu itu sendiri dan ahli ilmu.
Fasal keenam adalah tentang bagaimana
seharusnya mencari ilmu berbuat. Dia harus sungguh-sungguh dan disiplin.
Kesungguhannya itu menopang diatas cita-cita yang luhur.
Memulai (starting) terjun, memperkirakan
kemampuan dan tertib belajar sesuai dengan kondisi diri dan ihwal ilmu yang
diterjuni adalah bahasan fasal ketujuh.
Tawakkal, kapan seyogyanya tholibul
ilmi, berusaha menghasilkan, ramah dan setia terhadap cita-cita, tidak
melewatkan waktunya dan istifadah (membuat catatan-catatan baik dalam tulisan maupun
benak), waro' (menjaga makanan dan perbuatan yang dilarang untuk tidak disantap
atau dilakukan), apa saja yang membuat orang mudah menghafal dan yang mudah
membuat orang gampang lupa dan yang terakhir adalah tentang amalan dan bacaan
yang membuat pelakunya tercurahi rizqi Allah. Itu semua adalah pasal kedelapan
sampai ketigabelas.
Asas manfaat yang mendasari keibadahan
tholabil 'ilmi sebagai pendekatan. Pada awal coret-coret ini, saya mengemukakan
bahwa ilmu nafi' yang muntafa' bih adalah anugerah dari Allah yang
"allamal insaana maa lam ya' lam". Manfaat dan guna yang didapat oleh
orang yang memperoleh keuntungan dari ilmu itu, tidak hanya didunia ini saja,
namun juga akhiratnya. Karena itu untuk menghasilkan ilmu yang bermanfaat,
tidak hanya menghajatkan peranan dari pencari ilmu itu sendiri. Peranan Allah
dan peranan perantara guru dimana orang berhasil mandapatkan ilmu, sama sekali
tidak bisa dipisahkan. Hal-hal (baca: a'mal) yang melibatkan Allah SWT. Demi
perkenan-Nya, ridho-Nya, kita menyebutnya ibadah.
Ibadah sebagaimana amal-amal lain, ada
permulaannya, prosesnya dan akhirnya. Masing-masing menghajatkan pada pemenuhan
aturan main yang telah ditetapkan agar yang dilakukannya tidak sia-sia dan sah
adanya. Apalagi amal ibadah yang bernama tholabil ilmi menempati peringkat
diatas qiyamil lail dan puasa sunnah, mengapa? Ya, karena ilmu itulah yang
mengantar orang terhormat dan mulia disisi Allah oleh karena ketakwaan,
"Inna akromakum 'indallohi atqaakum". Ilmu adalah wasilah untuk takwa
dan takwa adalah wasilah mulia 'indallah. Yang mulia 'indalloh tentu mulia 'nda
siwahu min kholqihi.
Ilmu yang menjadi washilah kepada takwa
itulah yang dapat disebut sebagai ilmu nafi' wa muntafa' bih (ilmu yang
bermanfaat).
Berangkat dari sini, kiranya tidak
berlebihan manakala kita pertama-tama harus mampu menempatkan kedudukan ilmu
sedemikian rupa, sehingga ghoyatun nafi' dan intifa' dapat dicapai oleh tholib.
Dan pada tempatnya pula dia bersikap ta'dhim terhadap apa dan siapa yang
diharapkannya akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada dirinya, dunia
dan akhirat. Kendatipun dia secara filsofis terpaksa menentukan klasifikasi
ta'd'him itu. Tergantung pada siapa dia harus berlaku ta'dhim.
Memang pada dasarnya sifat batin adalah
sifat bathini, karenanya tidak transparan. Tampilannya bisa beberapa bentuk
sesuai dangan keadaan. Keadaan mu'adhdhim dan mu'adhdhom itu sendiri, latar
belakang keduanya dan seterusnya.
At-Ta'dhim
Tampilan ta'dhim yang beraneka bentuk
itu tentu saja tidak boleh keluar dari batas ,layak,wajar. Karena memang
ta'dhim bagi tholib adalah kewajaran, sesuatu yang layak dilakukan terhadap
yang ia merasa harus menta'dhimkannya. Dan merupakan garapan tholibul ilmi
untuk mengartikulasikannya dalam ia memilih tampilan ta'dhim, dilakukannya
dengan kesungguhan dan sepenuh hati. Tidak kemudian terperangkap kedalam bentuk
yang sering kita dengar dengan sebutan mudahanah atau mujahalah belaka. Lamis
dan menjilat, semu dan tak bermakna.
Untuk itu tholib harus pandai dan cermat
menentukan pilihan ilmu apa yang paling baik yang harus dia cari. Sesuai dengan
minat dan bakatnya. Bahkan ketika bergurupn dia tidak dibenarkan sembarangan
dan asal-asalan. Pilihan ang ditentukan sendiri akan lebih mendorongnya kepada
kesungguhan ta'dhim. Oleh TMT kesungguhan ta'dhimil ilmi dirupakan dengan tidak
menjamah kitab yang berisi kandungan ilmu itu, kecuali dalam keadaan suci dari
hadats. Sebelum dia muthola'ah, mengaji atau mengulang pelajaran, berwudhu
lebih dahulu. Sebab ilmu itu nur dan wudhu mewujudkan nur pada diri. Tidak
menaruh kitab sejajar, apalagi di bawah bokong. Dan seterusnya. Sedang ilmu
yang sebaiknya dipilih oleh tholib secara klasifikasial adalah yang dia
hajatkan mendesak bagi urusan agamanya, yang dibutuhkan untuk menuntun
kebahagiaan masa depan (bahkan depan sekali yaitu ketika kelak harus menghadap
kholiqnya) dan dihajatkan bagi mengatur hidupnya dunia akhirat.
Dalam hal tholib memilih guru, kalau
ada, pilih yang mengumpulkan kealiman yang kealimannya dimasyhurkan sebagai
handal (al a'lam) yang secara khuluqi, mengatur kehidupan keseharian sedemikian
rupa sehingga tidak terkena imbas aib sosial, menjauhi kedurhakaan dan maksiat
serta menjaga muru'ah (al-auro’) dan yang memiliki nilai lebih dalam kematangan
ilmu dan amalnya serta lebih tua usianya daripada ulama (kiyai) lain
(al-asann). Hal ini barangkali dimaksudkan agar tertancap pada diri tholib
kemantapan berguru. Dengan demikian tanpa ragu-ragu lagi, tholib bersikap
ta'dhim kental kepada gurunya itu. Oleh TMT, dicontohkan dengan tidak ngomong
kalau tidak didangu tidak bergeser tempat duduk sebelum sang guru beranjak dari
tempatnya, tidak terlalu dekat dan tidak pula terlalu jauh dari guru, ketika
didangu tidak berulah yang menyebabkan guru terganggu. Mematuhi segala
perintahnya apapun bentuknya. Dan seterusnya. Ta'dhim ini berlanjut kepada
keluarga sang guru. Pendek kata tidak membuat guru tertekan (diantara tanda
kutip) secara moral ta'dhim kepada guru ini, dilakukan oleh tholib untuk
mendapat perkenannya. Bukankah gurupun harus memberi dengan sifat kasih dan
sepenuh hati pula? Bukankah pemberin itu wasilah untuk mendapatkan dan
menghantarkannya kepada "raf'ad darojat"?
Oleh TMT guru disamakan dengan dokter
(thobib). Kalau dia tidak dihormati, dia tidak akan memberi yang terbaik yang
sangat dibutuhkan murid atau pasien itu, meskipun dia (pura-pura) memeriksanya
dan menuliskan resep. Melengkapi hujjah TMT adalah sebuah ungkapan, yaitu: “Maa
washola man washola illa bilhurmati wat ta'dhim, wa maa saqotho man saqotho
illa bitarkilhurmati wat ta'dhim”.
Melakukan pilihan sendiri secara cermat
terhadap ilmu dan guru dimaksudkan agar tholib tidak meninggalkan ilmu dan
gurunya itu, sebelum dia dinyatakan selesai dalam berguru. Sebab meninggalkan
ilmu dan guru sebelum saat dinyatakan selesai adalah desersi dan itu sangat
menyakitkan. Dengan demikian sulit ilmu yang sudah dia kuasai bermanfaat.
Memilih rekan adalah suatu yang tidak boleh di abaikan oleh tholib. Rekan itu
harus serasi, yang mau dan mampu diajak rembugan, musyawarah, berakhlak
terpuji. Pendek kata dia harus serekan yang kebaikaannya bisa kamu curi. Sebab
"at thob'u saroqo", tabiat itu pasti mencuri, punya dampak dan sangat
mempengaruhi perilaku dan penilaian.
Layaqoh Ma'hudah
Untuk menyikapi ilmu, guru dan rekan
yang seperti tersebut diatas, untuk menganggap sikap ta'dhim ala TMT berlebihan
atau tidak, untuk mengatakan sikap-sikap TMT relevan atau tidak kaitannya
dengan sistem pendidikan dewasa ini tergantung dimana sebenarnya seseorang
(sebagai tholib) menempatkan dirinya dalam kedudukan dan peranan apa, menurut
anggapan tholib, guru berpengaruh pada "pembentukan diri". Seberapa
besar guru memberi manfaat pada kehidupan tholib. Sampai sejauh mana jangkauan
tholib mengapa dia melengkapi diri dengan ilmu itu.
Barangkali bisa saya katakan bahwa substansi
pendidikan (yang bahasa kitabnya at-tarbiyah dari "madhi" robba yang
maknanya " memberangkatkan pagi-pagi" atau "memperkembangkan
sejak mula", sejak ditanam bagi tanaman dan sejak masa pertumbuhan bagi
anak manusia) adalah menggarap jiwa anak manusia menurut fitrahnya adalalah
bersih-bersih bagaikan kertas putih dia bisa ditulisi, dilukis, dicoret-coret
atau diapakan saja bahkan disobek-sobek. Ditarbiyah dengan demikian bisa
diusulkan untuk berarti: “tughda wa tunsau kama hiya makhluqotun bihi bighoiri
taghyiri wa thawili majraha, dibiarkan berangkat dan beranjak tumbuh sesuai
dengan fitrahnya tanpa harus dibiasakan dari alur yang semestinya dengan
menuntun dan memberi contoh yang diinginkan serta memberi warna yang
seindah-indahnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh dia yng dididik.
Sehingga tertanam pada dirinya haiah rosikhoh tashduru min halil af 'aal.
Sasaran pendidikan dengan demikian
adalah jiwa. Jiwa lebih peka terhdap rasa yang
jelas tidak nyata. Kebesaran jiwa tidak
nyemumuk seperti halnya kecahayaan ini tidak membinar. Namun kebesaran dan
kecahayaan itu dapat dirasakan. Membentuk kebesaran dan kecahayaan itu bisa
efektif bila dengan perangkat kedekatan rasa pula. Kedekatan rasa yang dijalin
antara guru dan tholib dengan tali Allah dan tali rohmah ini akan menjalin
keberhasilan amal tarbiyah. Tarbiyah yang diarahkan kepada ketaqwaan. Wallahu
'alam.
Kita mengerti sepenuh bahwa: menggarap
sesuatu itu tergantung kepada apa yang digarap. Sepanjang yang digarap tidak
berubah, pola dan format garapan tidak perlu dirubah kefitrahan manusia. Pada
dasarnya tidak pernah dirubah, karena itu relevansi konsep yang telah
disepakati sebagai ideal, efektif dan menjanjikan bagi menggarap jiwa manusia,
belum layak dipersoalkan. Kalaupun dalam kenyataannya terjadi perubahan profil,
kemencegan tampilan dan fariasi lagak gaya akibat pengaruh makanan dan
lingkungan, tinggal menyesuaikan cara penanganan saja.
At- Talkhis Al Mudawwan
1. Mencari
Ilmu harus dengan niat menghilangkan kebodohan untuk selanjutnya menggapai
ridha Allah.
2. 2.
Mencari dengan terjun kelubuk pendidikan, berarti mencurahkan segala yang ada
pada diri untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya.
3. Ilmu yang
kelak diperoleh harus mejadi wasilah menuju kepada takwa, yang tentu akan
mengangkat derajat mulia disisi Allah.
4. Ilmu
adalah cahaya, anugerah dan karunia Allah, yang untuk mencapainya antara lain
lewat perantaraan guru. Kalaupun tanpa guru yaitu dengan membaca, menurut
konsep Al-Qur'an harus dengan atas nama Allah.
5. Ilmu yang
membuat orang mulia dan terhormat, dan mencurahkan manfaat yang
sebesar-besarnya itu, sangat pada tempatnya untuk dita'dhimkan. Adalah
terjemahan dari rasa terima kasih yang besar dan penghargaan yang mendalam.
6. Menta'dhimkan
guru sebagai rasa terima kasih yang nota bene ahlul ilmi itu adalah pada
tempatnya, sangaat layak dan terpuji. Dan adalah berarti menta'dhimkan ilmu itu
sendiri.
7. Menta'dhimkan
harus berarti pula tidak membuat yang bersangkutan merasa tertekan dari arah
manapun, langsung atau tidak langsung.
8. Ta'dhim
bukanlah ta'abbud. Namun bisa saja laku ta'dhim karena menjalankan perintah
syari'. Menjalankan perintahnya berarti juga ta'abbud.
9. Mencari
ilmu dengan konsep TMT membuat tholib sadar posisi dan ikhlas.
At-Talkhis Al-Mu'abbar
Barangkali oleh karena Az-Zarnuji
melihat kependidikan itu dengan kaca mata keteladanan, meskipun secara emphiris
dapat dibuktikan, maka yang tertuang terkesan berlebihan. Andaikata saya tidak
khawatir disebut sebagai su’ul adab, saya akan mengatakan bahwa TMT adalah
kerangka acuan hasil temuan atau rangkuman pengalaman ahlil ilmi dan belum
disusus seperti layaknya konsep.
Namun secara kualitatif memiliki bobot
yang efektif sebagai pedoman untuk menciptakan dunia pendidikan yang ideal yang
masih sangat mungkin diterapkan kapan saja. Oleh karena itu, saya memberanikan
diri untuk menganggap isi kitab TMT masih sangat relevan untuk diterapkan pada
dunia pendidikan dewasa ini, sepanjang format belum berubah.
Tentang hubungan pendidik anak didik,
guru murid, kiyai santri, pemberi manfaat penerima manfaat, dan seterusnya,
adalah wajar dan memenuhi tuntunan ajaran serta tuntunan keorangan apabila
terjalin tali keeratan yang terbuhul atas dasar filosofi sadar posisi bagi
masing-masing. Dan itu harus dipertahankan kelanggegnannya agar pengawasan
batini dapat dilakukan terus menerus.
Kelanggengan hubungan antar dua kutub
tersebut hanya dapat dicapai dengan keikhlasan yang putih.
Takhtim
Alur yang dipilih Az-Zarnuji untuk
mengalirkan gagasan beliau, saya kira sudah memenuhi aspek muthobaqoh tadhomun
maupun iltizam. Dan itulah hasil pendilalahan yang benar dari lafal:
at-tarbiyah.
Pada kurun masa segala aspek tata
kehidupan sudah bergeser seperati sekarang ini dan menjelang berlakunya era
indrustrialisasi, saya kira konsep yang ada pada kandungan TMT, sebaiknya
didukung untuk disosialisasikan dan dikembangkan secara adapatatif. Dengan
melibatkan para pakar disiplin ilmu tertentu dan penambahan tata nilai. Sebab
dapat saja saya mengatakan: untuk membentuk generasi penerus yang terdidik lagi
bertakwa kepada Allah SWT. Belum ada pedoman khususnya selain kitab TA'LIMUL
MUTA'ALIM.
http://www.catatankangsantri.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment